RSS

KOTA PALSU 2

The Lollypop Days Page 50-56 (halaman ini terdaftar hak cipta isbn
isbn 978-602-97965-0-6) 

Goresan Tujuh Belas
Kota Palsu 2
Cantik, mungkin kau kenal dia, perempuan di akhir empat puluh itu, dengan matanya yang redup, terengah-engah berlari di sebuah jalan menuju halte. Pasrah merayap di matanya. Kepayahan dia. Ia seperti tak punya banyak waktu lagi. Cantik bukan hanya satu orang. Banyak Cantik-Cantik sejenis di jalan. Sementara Cantik yang lain hendak menyebrang di depan shopping mall di tengah kota. Dan Cantik yang satu lagi, yang sudah sepuh, sedang duduk di bangku peron stasiun bojong gede. Masih banyak lagi Cantik lainnya, namun, apabila semua diceritakan, tak akan pernah selesai.
*
Intan berjalan malas, bangkit dari tempat tidurnya menuju jendela. Ia menutup jendela yang sedikit berdebu itu. Ia menundukkan kepala, menengok perut. Lapar, pikirnya. Tidak enak jadi anak kos, batinnya. Ingin makan harus keluar dulu, rengeknya. Tidak bisa langsung berangkat ke meja makan, ambil piring, ambil sendok, ambil garpu.
Intan memang harus menjadi anak kos untuk sementara ini. Ia ingin konsentrasi belajar untuk ujian nasional. Rumahnya yang lumayan jauh dari sekolah menurutnya hanya akan menghabiskan waktu.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Tidak sangka ia terlelap selama itu. Sejak pulang sekolah sore hari tadi, ia belum sempat berganti pakaian. Intan pun menyambar dompetnya. Dengan sedikit nyanyian, ia turun, berlari ke warung di ujung jalan.
Cantik pertama menangis. Di tangannya tidak ada barang sama sekali. Tidak ada tas, tidak ada dompet. Betapa mengharukan kelihatannya. Sepertinya ia sedang sakit kepala berat.
“Dik, kalau mau ke halte, benar lewat jalan ini, kan?” tanya Cantik pada Intan yang ditemuinya di jalan menuju halte.
“Oh. Iya. Ibu lurus aja, tidak jauh kok. Saya mau makan di warung dekat halte itu. Ibu bareng saja sama saya.” jawab Intan.
“Duh. Bis yang ke kota x masih ada nggak ya, Dik?” tanya Cantik.
“Oh. Masih kok. Ibu mau ke Kota X malam-malam begini? Kayaknya buru-buru banget ya, Bu?” tanya Intan heran. Cantik mengusap air matanya. Intan melihat Cantik menangis namun ia enggan bertanya mengapa.
“Anak saya yang paling kecil, Dik. Meninggal. Saya harus pulang sekarang.” jelas Cantik.
Intan tertegun. Ia mengucapkan kalimat duka cita.
“Hari ini Ibu sial sekali. Tadi pagi Ibu memecahkan piring di warung tempat Ibu bekerja. Ibu disuruh mengganti saat itu juga. Padahal uang Ibu sudah tidak ada lagi. Gaji bulan ini sudah Ibu kirim ke Kota X semua. Ibu tidak pegang uang. Kira-kira kondektur bis nanti mau nggak ya, Dik, Ibu tumpangi? Duh, mudah-mudahan mau, ya? Habis Ibu sama sekali nggak punya uang.” jelas Cantik panjang lebar.
“Mudah-mudahan mau, Bu,” sahut Intan. “Ibu cerita saja semua sama kondekturnya. Ini buat ongkos Ibu.” kata Intan sambil menyerahkan beberapa lembar ribuan dengan senyum termanis yang bisa dilakukannya.
“Makasih ya, Dik. Ibu benar-benar berterima kasih sama kamu. Ibu bingung bagaimana kalau kondektur bis menolak Ibu tumpangi bisnya tanpa membayar.”
Lagi-lagi Cantik menyeka air matanya. Intan hanya tersenyum. Puas ia dapat meringankan beban Cantik.
“Ibu yang tabah, ya?” kata Intan. Cantik mengangguk lemah.
“Iya, Dik. Sekali lagi terima kasih sekali, Dik. Adik sekolah di dekat sini, ya? Semoga adik nanti jadi orang sukses, ya?” doa Cantik.
Intan mengamini.
Dan mereka berpisah.
*
Venus dan mora, setiap hari selasa selalu membeli majalah yang ada tidak jauh dari mall itu. Mereka akrab dengan nenek penjaganya. Nenek itu baik hati kepada semua orang. Dan nenek selalu memanggil Venus dan Mora dengan sebutan ‘nona yang baik’.
Setelah sampai disana, tanpa bertanya lagi, nenek penjaga langsung menyerahkan majalah yang sudah sengaja dipisahkannya kepada Venus dan Mora. Venus asyik membolakbalik halaman majalah itu sementara Mora terlihat tak sabar.
“Ngapain sih dibolak-balik? Loe tetep bakal beli, kan” protes Mora kesal.
“Sebentar.” sahut Venus.
Setelah puas membolak-balik sampai halaman terakhir, Venus membayar majalah itu dan mereka pun pergi dari sana.
“Tuh, kan. Ujung-ujungnya loe pasti beli. Buat apa tadi bolak-balik halaman.” protes Mora lagi.
*
Cantik kedua. Sesekali menunduk tekun. Sesekali matanya melenggang kesana kemari. Cantik memang mesti waspada. Ia baru saja kecopetan. Ia tidak bisa pulang ke rumah. Ia menyesal telah teledor. Daerah disana memang rawan copet. Dan ia bertemu Venus juga Mora.
“Dik, saya haus sekali. Saya baru kecopetan disini. Saya boleh minta uang sedikit untuk beli minum dan pulang?” tanya Cantik.
Venus dan Mora menatap Cantik masygul.
“Wah, kok bisa, Bu? Ya udah ini, Bu. Tapi uang saya hanya tinggal segitu. Maaf ya, Bu, kalau uangnya tidak membantu.” kata Mora dengan diikuti anggukan Venus.
Di mata cantik, dengan perasaan yang lelah, uang itu berkilauan bak batu eksotik. Mungkin bagi semua orang yang baru kecopetan dan tidak memiliki uang sama sekali memang begitu.
“Ini justru kebanyakan, Dik. Terima kasih ya, Dik. Hati-hati, di sini kan banyak copet. Ibu takut kalian giliran berikutnya.” kata Cantik setengah berbisik.
“Iya, Bu. Ini kami juga sudah mau pulang.” jawab Mora.
Cantik bersyukur ada orang yang seperti Venus dan Mora. Mereka muda, cantik, baik hati, dan selalu mensyukuri semuanya dengan cara menopang yang rapuh.
*
Pun Cantik ketiga akhirnya duduk di salah satu bangku panjang peron. Ia tersenyum pada gadis yang duduk di dekatnya, Bilal. Bilal tahu senyum itu adalah senyum seorang penakluk.
“Neng, jam berapa?” tanya Cantik.
“Jam tiga, bu.” jawab Bilal ramah.
“Keretanya ngaret lagi ya, Neng. Ibu sudah menunggu disini selama satu jam lebih! Panas pula!” keluh Cantik sambil menikmati keramaian di sekitarnya. Bilal hanya tersenyum tanpa komentar. Ia sendiri kepanasan.
“Ibu mau pulang aja, deh!” putus Cantik.
“Neng, ibu boleh minta ongkos? Uang ibu sudah habis untuk beli karcis tadi. Tadi ibu kecopetan dalam perjalanan menuju stasiun.” kata Cantik.
Bilal sedang dibohongi, ia tahu.
Dengan dramatis, Bilal berkata, “Maaf, Bu, uang saya udah pas untuk pulang.
Saya udah nggak punya uang lagi.”
“Tolong, Neng, lima ribu aja! Ibu kecapaian di sini. Ibu mau pulang aja, Neng.”
*
Bilal menceritakan kekesalannya pada Audra. Sahabat adalah tempat bersembunyi dari drama-drama kehidupan.
“Gue ketemu lagi! Satu orang lagi! Dan di stasiun lagi! Dan selalu pura-pura kecopetan!” cerocos Bilal.
“Iya, iya. Apa?” sahut Audra sambil mengambil kue nastar sisa lebaran di meja.
“Orang yang pura-pura kecopetan. Yang pura-pura nggak punya uang lagi buat ongkos. Buat beli minum. Minta dikasihanin. Gue udah bosen. Alhasil gue maki-maki aja dia. Gue nasehatin kalau cari mangsa jangan di stasiun terus.
Penumpang kereta jadi pada tahu kalau itu semua bohong.”
Audra tertawa sumbang.
“Awas, Lal. Bisa aja dia tim reality show tentang seseorang yang nyari peri penolong untuk bantu dia. Dan yang mau nolong nanti dapat uang. Wah sayang banget, harusnya loe dapat satu juta! Loe bisa traktir gue dan anak-anak sekelas makan di A&W!” ledek Audra.
“Ah rese, loe!”
*
Ada sedikit yang dirahasiakan dunia ini.
Anak dari Cantik pertama memang sudah meninggal. Tapi dua puluh tahun lebih yang lalu dan Cantik tak pernah memiliki anak lagi. Intan tak pernah tahu bahwa Cantik tidak sedang hendak pulang apalagi tentang anak yang meninggal. Cantik telah memanipulasi air mata. Tanah yang diinjak, bagi Cantik, adalah tempat meratap manusia, kecuali dia tentu. Intan tak pernah tahu bahwa dirinya hanya satu dari genap sepuluh korban hari itu. Suatu bukti nyata kondisi yang sarkastis.
Cantik kedua setengah yakin bahwa Venus dan Mora setengah hati memberikan uangnya. Mereka masih SMP, uang jajan mereka pas untuk jajan di kantin, hanya bisa menabung sedikit untuk membeli majalah langganan.
Cantik kedua, penyandang cacat spiritual, yang tidak pernah kecopetan itu sedikit menyesal, merasa berdosa, namun melakukannya lagi esok karena memang hanya itu cara memanusiakan manusia. Membohongi masyarakat alias domba-domba kecilnya, seonggok mangsa empuk yang pasrah dipotong-potong. Dengan sihirnya, Cantik berbohong lagi.
Begitulah.
Malang Cantik ketiga tak beruntung seperti Cantik pertama dan kedua. Selama bertahun-tahun ia menganggap masyarakat selalu siap ditimpa salju kebohongan. Namun kini ia tak menyangka akan dipecundangi. Kebanggaannya selesai. Punah seperti tidak pernah ada awalnya. Ternyata tidak semuanya yang hidup itu pandir. Cantik ketiga pulang. Hari ini ia sudah sangat sibuk. Kasihan sekali, bertahun-tahun menjadi tukang tipu, baru sekarang pelajaran didapat.
Bahwa tidak semua orang mau diberi kepalsuan. Bahwa tidak semua mau menerima kepalsuan ☺

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Posting Komentar